Rabu, 21 Desember 2011

Pondok Pesantren LDII Burengan Kediri

Pondok Pesantren LDII Burengan Kediri

I. Pendahuluan
Hingga saat ini kajian ilmiah mengenai Pondok Pesantren Burengan (PPB) yang terletak di kota Kediri sebagai salah satu pondok pesantren besar di Indonesia masih belum memadai. Padahal selama satu dekade terakhir ini PPB mengalami perkembangan yang luar biasa. Sejak tahun 2001 misalnya, PPB mengelola dan mendidik siswa (santri) mukim rata-rata berjumlah 1700 orang.1 Angka itu belum mencakup santri kalong yang pada saat tertentu secara periodik dapat mencapai 3000 orang.2 PPB tidak hanya mendidik santri-santri yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia tetapi juga dari luar negeri seperti Singapura Malaysia, Perancis, Belanda, Suriname, dan sebagainya. Dengan demikian alumni PPB juga menyebar di hampir seluruh wilayah di Indonesia dan luar negeri.
Apa yang digambarkan di atas berhubungan dengan efektifitas dan efisiensi dari sistem pendidikan yang diterapkan di PPB. Sistem pendidikan di pesantren ini terutama berbasiskan pada kajian intelektual dari sumber ilmu Islam yaitu Al Qur’an an Al Hadits. Metode pembelajaran yang diterapkan di pesantren ini berpegang pada kajian tekstual yang ditransformasikan dalam bentuk-bentuk kultural yang bersifat kontektual dan kemudian dimanifestasikan dalam prilaku yang islami.
Keunikan PPB juga dapat dilihat dari sarana dan prasarana yang dimilikinya. Pesantren ini memiliki sarana gedung yang cukup representatif baik untuk ruang belajar, tidur, kamar mandi, perpustakaan, aula pertemuan dan olah raga, masjid, dapur dan sebagainya. Masjid yang berada di komplek pondok juga dilengkapi dengan menara setinggi 90 M. Apa yang paling menarik adalah kebersihan podok pesantren kelihatan sangat terjamin. Hal ini berbeda dengan citra pondok pesantren tradisional selama ini yang diidentikkan dengan penyakit kulit karena kejorokannya. Hal yang juga menarik adalah bahwa ribuan alumni lulusan PPB ini terserap oleh kebutuhan masyarakat modern yang haus secara spiritual. Mereka menjadi mubaligh di berbagai penjuru di Indonesia dan beberapa negara di luar negeri.
Dengan latar belakang itulah artikel ini akan mengkaji bagaimana sistem pendidikan PPB sehingga mampu berkembang menjadi pondok pesantren yang mampu menjadi rahmatan lil alamin bukan hanya bagi masyarakat Indonesia tetapi juga masyarakat dunia. Artikel ini akan lebih memfokuskan pada kajian model pembelajaran hukum-hukum Islam di PPB. Penekanan pada kajian model pembelajaran ini sangat penting karena model pembelajaran akan mempengaruhi dan menentukan pola berpikir dan berperilaku para santri alumni dalam kehidupan masyarakat.3
II. Potret Pondok Pesantren Burengan
A. Sejarah Singkat
Pondok Pesantren LDII Burengan atau juga dikenal dengan nama Pondok Burengan terletak di jalan H.O.S. Cokroaminoto 195 Kediri, propinsi Jawa Timur. Pondok Burengan memiliki sejarah yang cukup panjang. Pondok pesantren ini didirikan oleh K.H. Nurhasan Al Ubaidah pada tahun 1952 dengan nama Pondok Pesantren Burengan-Banjaran Kediri. Pada waktu itu kondisi bangunan pondok masih sangat sederhana yaitu dengan dinding bambu dan lantai tanah. Dengan perjuangan dakwah yang tidak mengenal lelah dan penuh dengan pengorbanan akhirnya K.H. Nurhasan Al Ubaidah berhasil mengembangkan pondok pesantren ini dengan cepat.
Pada awal perkembangannya, strategi dakwah yang digunakan adalah dengan menyelengarakan asrama khataman Al Qur’an dan Hadits yang diselenggarakan dengan cara keliling (dengan tempat yang berpindah-pindah). Bahkan tidak jarang K.H. Nurhasan melayani debat terbuka dengan para kyai terkenal di kawasan Jawa Timur.4 Asrama khataman yang pertama diselenggarakan pada tahun 1954 yang pada waktu itu diikuti oleh 30 laki-laki dan 10 perempuan. Pada tahun 1956, kegiatan asrama Al Qur’an diselenggarakan di Jalan Panggung Sasak Surabaya dengan diikuti oleh sekitar 100 orang. Strategi dakwah semacam ini sangat menarik perhatian masyarakat yang haus akan ilmu Al Qur’an dan Hadits. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1950-an hingga akhir tahun 1960-an terjadi konflik yang semakin memanas antara partai-partai politik yang Islam dengan partai-partai politik yang sekuler.
Pada tahun 1973 K.H. Nurhasan Al Ubaidah menderita sakit sehingga tidak mampu lagi untuk mengelola Pondok Burengan. Pada akhirnya Dewan Guru Pondok memilih Drs. Bachroni Hertanto selaku Pimpinan Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) sebagai pimpinan pondok hingga wafatnya pada tahun 1985. Selanjutnya Direktorium Pusat LEMKARI berserta dengan Dewan Guru Pondok dan anggota civitas akademika lain memilih Drs. H. Imam Supardi sebagai Pimpinan pondok. Namun demikian karena kesibukannya sebagai pegawai negeri, ia kemudian mengundurkan diri sebagai pimpinan pondok pada tahun 1989. Untuk selanjutnya terpilihlah H. Abdul Hamid Mansur, S.H. untuk menjadi ketua pimpinan Pondok Pesantren LEMKARI. Pada tahun 19-20 November 1990 LEMKARI menyelenggarakan Musyawarah Besar (MUBES) ke-4 di Jakarta yang memutuskan antara lain perubahan nama LEMKARI menjadi LDII.5 Dengan demikian namanya juga berubah menjadi Pondok Pesantren LDII Burengan-Banjaran Kediri. Nama ini dipakai hingga saat ini. Pada saat ini pimpinan pondok dipegang oleh K.H. Kuncoro Kaseno, S.E.
B. Struktur Organisasi dan Kepengurusan
Puncak dari struktur organisasi pondok pesantren adalah Dewan Penasehat yang beranggotakan dua orang. Dewan Penasehat mempunyai tugas memberikan garis besar arah kebijakan pengembangan pondok pesantren di masa depan. Di samping memiliki fungsi konsultatif, Dewan Penasehat juga memiliki fungsi kontrol dan evaluasi terhadap kinerja yang dilakukan oleh Pimpinan Pondok. Dengan demikian Dewan Penasehat memiliki kewenangan yang sangat besar dalam menentukan arah perkembangan pondok.
Di bawah Dewan Penasehat terdapat Pimpinan Pondok yang merupakan badan eksekutif tertinggi yang bertugas menjabarkan dan mengimplementasikan arah kebijakan pengembangan pondok pesantren yang digariskan oleh Dewan Penasehat. Pimpinan Pondok bertanggungjawab atas pengelolaan seluruh perputaran roda kehidupan pondok sehari-hari. Berkembang dan mundurnya pondok ditentukan oleh kinerja Pimpinan Pondok yang dibantu oleh Wakil Pimpinan Pondok dan jajaran stafnya. Pada saat ini Pimpinan Pondok dijabat oleh K.H. Kuncoro Kaseno, S.E. sedangkan Wakil Pimpinan Pondok dipegang oleh H. Umar Shodiq.
Dalam pengelolaan kegiatan sehari-hari Pimpinan Pondok dibantu oleh staf yang terdiri dari Sekretaris dan Bendahara. Sekretaris bertanggungjawab kepada Pimpinan Pondok dalam pelaksanaan tugasnya di bidang administrasi umum pondok. Dalam mengemban tugas, sekretaris dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris. Sementara itu tugas Bendahara adalah mengelola keuangan pondok dan mempertangungjawabkannya kepada Pimpinan Pondok. Dalam pelaksanaan tugasnya, Bendahara dibantu oleh Wakil Bendahara.
Untuk pelaksanaan tugas harian dalam rangka menggerakkan dinamika pondok, Pimpinan Pondok dibantu juga oleh Koordinator Bidang dan Seksi-seksi. Dalam hal ini terdapat satu koodinator yaitu Koordinator Bidang Pendidikan yang dibantu oleh seorang Sekretaris Seksi Pendidikan dengan membawahi: Seksi Pendidikan Siswa, Seksi Pendidikan Generasi Penerus, dan Seksi Pendidikan Warga. Seksi Pendidikan Siswa bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan proses pembelajaran para santri secara umum. Seksi Pendidikan generasi penerus (Generus) menjalankan fungsi untuk membina para santri dan remaja lingkungan pondok untuk mendalami ilmu Al Qur’an dan Hadits dengan harapan agar mereka dapat menjalankan hidupnya dengan menjadi mubaligh. Sementara itu seksi Pendidikan Warga bertugas menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengajian dan kegiatan keagamaan lain dengan sasaran anggota keluarga para pengurus dan guru pondok. Selain itu juga terdapat sembilan Seksi di luar pendidikan yaitu Seksi Pembangunan, Seksi Keamanan, Seksi Hubungan Masyarakat, Seksi Konsumsi, seksi Kendaraan, Seksi Kebersihan, Seksi Olah Raga, Seksi Kesehatan, serta Pembantu Umum.
Di dalam struktur Bidang Pendidikan terdapat Dewan Guru yang merupakan kumpulan dari para pengajar atau ustad yang mengajar berbagai ilmu agam di Pondok. PPB memiliki 40 orang guru yang terdiri dari 30 guru pria dan 10 orang guru wanita. Anggota Dewan Guru ini sebagian besar menetap di dalam lingkungan pondok, sedangkan sisanya tinggal di luar pondok. Semua guru adalah para alumnus terbaik dari PPB. Namun demikian mereka direkrut menjadi guru PPB setelah mereka menjalani pengabdian sebagai mubaligh di daerah-daerah tugass. Pada saat mereka bertugas di daerah-daerah itulah para guru senior memantau dan menilai kinerja mereka. Jika mereka dapat menjalankan tugas dengan baik tanpa ada cacat moral dan sosial, maka mereka bisa direkrut menjadi guru di PPB sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Secara formal, Pondok Burengan tidak dapat dipisahkan dengan organisasi LDII. Antara Pondok Burengan dan organisasi LDII memiliki ikatan historis dan emosional yang sangat erat. Pondok Burengan merupakan pondok pesantren yang berada di bawah payung organisasi LDII. Sebaliknya organisasi LDII mewadahi kepentingan-kepentingan Pondok Burengan dalam berhubungan dengan lembaga-lembaga lain baik pemerintah maupun non-pemerintah. Dimensi-dimensi kegiatan dakwah dari organisasi LDII terutama yang menyangkut pendidikan para mubaligh dipersiapkan dan digodog oleh Pondok Burengan. Jadi ada semacam hubungan timbal balik antara keduanya.
Penggodogan santri calon mubaligh sebetulnya bukan hanya dilakukan di PPB saja tetapi juga di pondok-pondok pesantren yang lebih kecil yang disebut Pondok Mini. Pondok Mini ini berfungsi mendidik dan mempersiapan santri lokal agar dapat lolos test masuk PPB. Bagi daerah yang belum memiliki Pondok Mini dapat mempersiapkan hal ini di Pondok Gading Mangu di Kertosono. Pada saat ini hampir setiap daerah setingkat kabupaten / kota atau setingkat DPD (Dewan Pimpinan Daerah) LDII Kabupaten/ Kota sudah memiliki pondok mini. Namun demikian belum ada jumlah yang pasti mengenai hal ini. Yang jelas bahwa saat ini LDII sudah memiliki cabang di 32 propinsi (DPD Propinsi), 302 DPD Kabupaten/ Kota, 1637 PC (Pengurus Cabang) di tingkat kecamatan, dan 4.500 PAC (Pengurus Anak Cabang) di tingkat desa.6
Perlu dikemukakan di sini bahwa para pengurus Pondok dipilih dengan menggunakan dasar ‘musyawarah untuk mufakat’ di antara anggota Dewan Pimpinan Pusat LDII, Dewan Guru Pondok, dan civitas akademika yang lain. Prosedur ini memang sesuai dengan ajarah Islam yang menganjurkan kepada umat selalu bermusyawarah dalam memecahkan persoalan umat. Musyawarah diyakini dapat mengakomodasi berbagai pendapat dan kepentingan dalam bingkai yang sama. Oleh karena itu tidak pernah terjadi percekcokan di antara warga pondok dalam persoalan pemilihan pengurus Pondok.
C. Fasilitas
Pondok pesantren yang terletak di tengah kota Kediri ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap yang dapat digunakan untuk proses pembelajaran para santri. Secara umum dapat dikatakan bahwa PPB memiliki kapasitas untuk menampung santri mukim sebanyak sekitar 2000 orang baik laki-laki maupun perempuan dan sekitar 50 orang pengurus dan guru pondok beserta keluarganya.
Bangunan-bangunan pondok terletak di atas tanah seluas 3,4 hektar yang terdiri dari antara lain: kantor pondok 2 lantai, bangunan parkir 7 lantai, gedung Aula Wali Barokah 3 lantai, Gedung DMC Asrama Putra 50 kamar 3 lantai, Asrama Putri 70 kamar 3 lantai, Masjid Baitil A’la 3 lantai, Menara Agung setinggi 99 meter, bangunan kamar tamu umum pria 2 lantai, kamar tamu umum wanita, kamar tamu Wisma Tenteram, Gedung Pengajian, Kantor Organisasi DPP LDII, bangunan rumah para pengasuh dan pengajar, Unit Kesehatan Pria, Unit Kesehatan Wanita, Dapur Asrama, ruang makan tamu, ruang olah raga fitness, lapangan olah raga tenis lantai, dan berbagai unit bangunan lain seperti dapur kamar mandi, ruang tamu, dan sebagainya. Beberapa dari gedung-gedung itu penggunaanya diresmikan oleh para pejabat negara seperti Gedung Aula wali barokah diresmikan oleh Menteri Siswono Yudho Usodo.
PPB tidak memiliki gedung untuk sekolah formal sebab PPB mengkhususkan pada kajian kitab dengan beberapa tambahan pelajaran praktis untuk kehidupan masyarakat. Hal ini berhubungan dengan tujuan PPB yang memang khusus mencetak para pendakwah Islam. Biasanya mereka yang masuk PPB sudah menyelesaikan pendidikan formal pada tingkat tertentu. Baru setelah mereka lulus PPB dan bertugas di daerah, maka sebagian mereka ada yang melanjutkan sekolah formal sambil menjadi mubaligh.
Para santri putri (santriwati) dan santri putra (santriwan) dipisahkan dengan menempati gedung yang berbeda, meskipun jaraknya tidak terlalu jauh dan masih satu kompleks. Antara asrama puta dan putri terpisahkan oleh masjid. Namun demikian pada jalan menuju ke masjid dibuat tanda pemisah yang terbuat dari tali antara jalan yang khusus santriwati dan santriwan agar di antara mereka tidak senggol-senggolan atau bertabrakan.
Selain memiliki sarana meja-kursi untuk mengaji sebanyak ± 1.500 unit juga terdapat fasilitas antara lain mobil van 4 unit, truk 2unit, minibus 1 unit, dan sepeda motor sebanyak 20 unit. Selain itu, untuk sarana belajar juga disediakan perpustakaan dan fasilitas komputer serta tempat praktek untuk pelajaran ketrampilan seperti menjahit, memasak, dan sebagainya. Selain itu PPB juga memiliki koperasi atau yang disebut Usaha Bersama (UB) yang menyediakan berbagai keperluan sehari-hari dan sembako (sembilan bahan pokok). Selain itu juga ada unit UB yang menangani penjualan kitab-kitab yang dibutuhkan oleh para santri dan para peziarah yang datang dari luar kota yang ingin ber-silaturrahim di PPB. Selain disediakan oleh UB, berbagai keperluan ibadah dan pakaian termasuk-kitab-kitab juga dijual oleh kios-kios yang dimiliki oleh keluarga pengurus PPB dan Dewan Guru yang tinggal di dalam kompleks PPB. Fasilitas lain adalah tersedianya air minum di dalam dispenser yang dapat digunakan oleh dan untuk kesejahteraan seluruh civitas akademika
Satu hal yang menyolok adalah bahwa fasilitas-fasilitas tersebut di atas tampak bersih dan terawat serta tidak terkesan adanya kekumuhan yang secara umum merupakan salah satu ciri khas dari pondok pesantren. Hal ini barangkali tidak luput dari peran seksi Kebersihan pondok yang dapat memberdayakan segala sumber daya yang ada di kampus.
III. Sistem Pendidikan
Visi yang ingin dicapai oleh Pondok Pesantren LDII adalah terlaksananya cita-cita yang dikenal dengan ‘Tri Sukses Pondok LDII’ yang mencakup sukses dalam bidang akhlak, alim, dan trampil/mandiri. Dalam bidang akhlak, pondok ini berusaha untuk mencetak manusia yang berwatak akhlakul karimah, mempunyai budi pekerti luhur, mempunyai tata karma, dan sopan santun dalam pergaulan masyarakat dan keluarga. Para alumni diarapkan menjadi manusia yang memiliki jati diri, berwatak budi luhur, mampu bergaul dengan masyarakat, menghargai orang tua, dan mentaati segala peraturan dan perundang-undangan. Dalam bidang ilmu, pondok ini berusaha untuk mencetak manusia-manusia yang berilmu, mempunyai bekal ilmu agama Islam yang mantap serta mampu mengamalkan ilmu agama secara benar baik secara pribadi maupun sebagai warga masyarakat. Di bidang ketrampilan dan kemandirian, pondok ini bertekad untuk mencetak insane mandiri. Oleh karena ini di samping para santri menerima pelajaran ilmu-ilmu agaa, merekajuga diberi bekal ketrampilan ssuai dengan bakatnya seperti kerampilan menjahit/ bordir, pertukangan batu/ kayu, elektronik, perbengkelan, pertanian, dan sebagainya. Denbgan demikian diharapkan setelah mereka lulus dari pondok tidak akan menggantungkan diri dapa keluarga dan orang tua, tetapi dapat hidup mandiri.
Sistem pengajaran di PPB tidak didasarkan atas penjejangan yang ketat sebagaimana sekolah formal. Misalnya dalam hal penerimaan santri tidak ada batasan waktu. Setiap bulan PPB dapat menerima santri baru atau bahkan setiap hari. Sebaliknya setiap saat PPB juga meluluskan santri-santrinya tergantung dari kesiapan para santri untuk menjalani test kelulusan, baik kelulusan masing-masing tingkat maupun kelulusan akhir. Dengan demikian pada dasarnya sistem pembelajaran di PPB ini meskipun dilaksanakan secara klasikal berdasar kelompok pembelajaran tetapi sesungguhnya bersifat individual. Bagi santri yang merasa sudah mampu dapat sewaktu-waktu mengajukan untuk test kelulusan tingkat ataupun test kelulusan akhir.
A. Kurikulum
Pondok Pesantren LDII Burengan merupakan ‘pondok tradisional plus’. Dalam hal ini santri tidak hanya diberi pelajaran ilmu agama saja tetapi juga dibekali ketrampilan sehingga bisa tercipta sumber daya manusia yang trampil dan mandiri yang dilandasi iman dan taqwa kepada Tuhan. Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di pondok pesantren ini bersifat non formal. Dalam hubungan ini, sistem pendidikan tidak mengenal adanya tingkatan formal dan akhir tahun ajaran. Para santri dikelompokkan atas dasar spesialisasi kitab dan daya serap ilmu yang diajarkan. Setiap santri yang sudah merasa siap dapat mengajukan ujian untuk memperoleh kelulusan.
Ada berbagai kelompok pembelajaran sesuai dengan tingkat kompetensi masing-masing santri mulai dari kelas anak-anak, pemula, hingga kelas untuk persiapan ujian. Paling tidak ada sembilan kelompok pembelajaran yaitu Cabe Rawit (usia 5-12 tahun), Menulis Arab, Bacaan Al Qur’an, Tafsir Lambatan Jawa, Tafsir Lambatan Indonesia, Tafsir Cepatan Jawa, Tafsir Cepatan Indonesia, Ujian/ Test, dan Lanjutan/ Terampil.
Pada kelompok pembelajaran Cabe Rawit, pelajaran yang diberikan adalah hafalan doa-doa shalat, praktek shalat, hafalan doa harian, thoharoh, menulis huruf Arab dan Pegon, pendidikan akhlak. Pada kelompok pembelajaran Menulis Arab diajarkan mata pelajaran menulis huruf Hijaiyah, menulis Pegon, materi Pegon. Adapun kelompok pembelajaran Bacaan Al Qur’an diberi pelajaran tajwid dan materi bacaan. Sementara itu kelompok pembelajaran Tafsir Lambatan Jawa memberikan pelajaran kajian Al Qur’an dan Hadits dalam bahasa Jawa yang disertai dengan materi kelompok lambatan, sedangkan kelompok Tafsir Lambatan bahasa Indonesia diberikan dalam bahasa Indonesia. Demikian juga kelompok pembelajaran cepatan baik bahasa Jawa maupun Indonesia materinya sama hanya saja disampaikan dalam bahasa Indonesia dengan ditambah materi kelompok cepatan.
Sementara itu kelompok pembelajaran ujian/ test (tiga bulan) memberikan pelajaran lebih komprehensif yaitu: bacaan Al Qur’an, Tafsir Al Qur’an, Metode Dakwah, Manajemen, Penyuluhan Hukum, Penyuluhan Kesehatan, dan Keputrian. Adapun kelompok pembelajaran Terampil/ Lanjutan berlangsung selama 1 tahun dengan mendapatkan materi Tafsir Kutubussitah (Kajian enam hadits sahih).
B. Bahan Ajar
Bahan ajar pokok yang digunakan dalam proses pembelajaran di Pondok Pesantren Burengan adalah sumber asli agama Islam yaitu Al Qur’an dan Al Hadits. Para kyai dan santri memanfaatkan kedua kitab itu sebagai sumber primer. Kitab-kitab yang sifatnya sekunder karya para ulama tidak digunakan. Memang betul bahwa hampir semua pondok pesantren mendasarkan diri pada Al Qur’an dan Hadits, namun bahan ajar yang digunakan tidak langsung pada kajian-kajian kedua kitab itu, tetapi menggunakan kitab-kitab sekunder karya para ulama besar terdahulu seperti kitab fiqih, tauhid, dan sebagainya. Di samping kedua kitab utama itu juga diajarkan beberapa ilmu tambahan seperti ilmu tawid, menulis Arab, bahasa Arab, Nahwu, Sorof, Usul Fiqih, Mustholah Hadits, dan sebagainya. Sementara itu materi ketrampilan terdiri dari berbagai kursus sesuai dengan bakat mereka. Sedangkan materi yang berkaitan dengan kemasyarakatan dan pemerintahan, pondok ini mengajarkan olah raga, bakti sosial, bahasa Indonesia, metode dakwah, manajemen, dan sebagainya.
Kitab Al Qur’an yang menjadi bahan kajian sama dengan kitab yang dipakai oleh masyarakat umum seperti terbitan Toha Putera, Gunung Agung, dan sebagainya. Seringkali kitab Al Qur’an yang digunakan oleh para santri dan kyai berasal dari terbitan negara-negara Timur Tengah, khususnya Beirut. Terbitan ini diperoleh ketika para santri menunaikan ibadah haji di Mekkah ataupun titip kepada calon haji untuk dapat dibelikan di sana. Kadang-kadang mereka memperoleh kitab itu dari oleh-oleh sahabat mereka yang baru saja datang dari Mekkah. Seringkali kitab-kitab terbitan luar negeri ini berfungsi ganda yaitu sebagai bahan ajar dan sekaligus sebagai kebanggaan yang dipajang di almari. Sudah barang tentu kitab-kiab hadits yang dibeli di Mekah ataupun Madinah merupakan kitab-kitab hadits besar. Namun demikian ada juga yang memperoleh kitab itu dengan cara membeli dari toko-toko kitab di Indonesia.
Biasanya kitab Al Qur’an yang dipakai oleh para kyai dan santri berupa kitab ‘kosongan’ dalam arti bukan kitab yang sudah diberi terjemahan. Para santri, khususnya santri pemula, lebih memilih kitab Al Qur’an yang lembaran halamannya memiliki space yang lebar yang memungkinkan mereka dapat mengisinya dengan makna yang diajarkan oleh sang kyai di sela-sela di antara baris yang ada. Dengan demikian kitab-kitb yang sudah dimaknai (seperti terbitan Departemen Agama) tidak digunakan dalam PPB.
Bahan ajar pokok ke dua adalah kitab-kitab hadits atau sunnah nabi. Kitab ini merupakan kitab yang dihimpun oleh para penghimpun hadits yang berisi segala pikiran, ucapan, tindakan dan tauladan Nabi Muhammad SAW. Kesaksian dari orang-orang yang masih sempat berguru dengan pendiri PPB yaitu KH Nur Hasan Al Ubaidah mengatakan bahwa kyai itu menguasai ilmu Hadits (memberi makna dan keterangan) sebanyak 49 jenis himpunan Hadits yang terdiri dari 6 hadits yang biasanya dikategorikan sebagai kutubussitah (yang tingkat kesahihannya diakui semua sekte Islam kecuali Syiah dan beberapa sekte yang mengingkari keabsahan hadits nabi) dan sisanya adalah berbagai hadits komplemen. Kitab-kitab hadits kutubussitah terdiri dari himpunan hadits yang disusun oleh Buchori, Muslim, Ibn Majjah, Abi Daud, Sunan Tirmidzi, dan Nasa’i.
Selain kitab hadits-hadits besar, juga dijumpai bahan ajar yang berupa kitab-kitab himpunan. Kitab himpunan merupakan cuplikan-cuplikan hukum-hukum atau dalil-dalil dari Al Qur’an dan Hadits yang disusun berdasarkan bidang atau topic tertentu seperti Kitabussholah (kitab tentang shalat), Kitabudda’wat (kitab kumpulan doa-doa), Kitabul Ilmi (kitab tentang kewajiban belajar ilmu agama), Kitabul Imaroh (kitab tentang keimaman), dan sebagainya. Berdbeda dengan kitab Al Qur’an dan Hadits, kitab-kitab himpunan ini disusun sendiri oleh pondok pesantren. Dalil-dalil yang dituangkan dalam kitab-kitab himpunan ini merupakan dasar-dasar hukum yang kuat dan applicable.
Jika dilihat dari isinya, kitab-kitab himpunan ini merupakan pengantar bagi para pemula atau jamaah baru. Penggunaan kitab himpunan untuk para pemula ini didasari atas pertimbangan jika mereka langsung belajar dari kitab-kitab besar saja maka berbagai jenis amalan urgen yang harus segera dilakukan tidak bisa segera diamalkan secara benar. Oleh karena itu jika ada jamaah baru maka di samping mereka mengkaji kitab-kitab besar, juga diberikan kitab-kitab himpunan agar dapat segera beramal secara benar sehingga jika meninggal sewaktu-waktu mereka sudah dalam pengamalan yang benar. Dalam hubungan itu kitab-kitab hadits besar merupakan bahan ajar pengayaan dan pendalaman.
Bahan ajar yang juga sangat penting dalam menjaga keimanan para santri adalah nasehat-nasehat ulama yang dituangkan dalam bentuk teks tertulis. Teks ini disebarluaskan dan menjadi bahan pembinaan baik bagi para santri di pondok pesatren Burengan maupun warga LDII secara umum. Teks nasehat ini berisi nasehat-nasehat dalam konteks mengatasi persoalan-persoalan actual dengan menggunakan dasar-dasar hukum Islam yaitu Al Qur’an dan Hadits. Dalam hukum Islam nasehat ulama merupakan salah satu bentuk dasar hukum Islam yang disebut ijma’ atau ijtihad.
C. Kegiatan Santri
Para santri biasanya bangun atau dibangunkan pada waktu pukul 02.00 dini hari untuk melakukan sholat malam (sholat tahajud, sholat hajad, sholat tasbih, dan sebagainya), dzikir, dan doa sepertiga malam yang terakhir yang diyakini merupakan waktu yang mustajab (manjur) untuk memanjatkan doa kepada Allah. Bagi santri yang tidak mengantuk dan masih memiliki semangat akan terus melakukan doa hingga menjelang waktu sholat subuh. Setelah menunaikan sholat subuh, para santri kemudian mengaji Al Qur’an secara umum, yaitu bacaan, makna, dan keterangan. Pengajian yang diselenggarakan di masjid Baitil A’la ini diikuti oleh semua kelompok pembelajaran. Mereka duduk dengan santai di lantai masjid dengan memegang kitab mereka masing-masing. Kegiatan ini berlangsung hingga pukul 06.00. Setelah itu para santri kemudian istirahat. Pada umumnya mereka melakukan persiapan belajar dan ada juga yang mencuci pakaian. Mereka makan pagi mulai pukul 07.00.
Pelajaran dimulai pukul 08.00 hingga pukul 09.30 sesuai dengan kelompok pembelajaran mereka masing-masing. Setelah istirahat selama setengah jam, mereka belajar lagi dari pukul 10.00 hingga pukul 11.00. Setelah itu mereka diberi kesempatan untuk istirahat hingga sholat dhohor. Kegiatan selanjutnya adalah makan siang dan istirahat hingga pukul 14.00. setelah itu mereka menerima pelajaran lagi hingga waktu sholat asar sekitar pukul pukul 15.00. Setelah sholat mereka istirahat sambil nderes atau memperdalam kitab secara sendirian ataupun dengan teman-teman kelompok ataupun sekedar membaca Al Qur’an.
Setelah mandi dan makan sore mereka bergegas ke masjid untuk persiapan sholat maghrib. Sambil menunggu imam sholat, biasanya mereka membaca Al Qur’an. Setelah sholat maghrib dilanjutkan dengan nasehat dari pengurus pondok ataupun dari ustadz. Kegiatan ini berlangsung hingga menjelang sholat isya’. Setelah sholat isya’ dilanjutkan dengan pelajaran hingga pukul 10.00. Setelah itupara santri dipersilahkan untuk istirahat tidur. Namun demikian biasanya nderes terlebih dahulu sebelum tidur. Mereka dibangunkan pukul 02.00 malam. Apa yang menarik adalah setelah bangun mereka harus mengadakan apel sesuai dengan kelompok masing-masing dan diabsen untuk melakukan sholat malam dan doa sepertiga malam yang terakhir.
Selain kegiatan harian sebagaimana yang digambarkan di atas juga ada kgiatan mingguan. Kegiatan ini khsusus untuk melatih para santri untuk dapat berorasi di depan publik. Kegiatan ini dilakukan setiap hari Jumat pukul 13.30 yang dilakukan secara berkelompok dan bergiliran. Tidak ada kegiatan bulanan secara khsusus di PPB. Sementara itu kegiatan semesteran atau semesteran berupa khataman Al Qur’an, kemudian enam bulan berikutnya khataman Al Qur’an lagi, namun enam bulan berikutnya bukan khataman Al Qur’an tetapi khataman khutubussitah (kitab hadits enam) dan setelah itu kembali khataman Al Qur’an dan seterusnya. Biasanya kegiatan khataman ini bukan hanya diikuti oleh para santri yang ada di PPB tetapi juga dari pondok mini lain yang ada di seluruh Indonesia, bahkan tidak sedikit pula para warga LDII dari seluruh penjuru dunia yang memiliki kesempatan dan biaya akomodasi mengikuti kegiatan ini. Kegiatan tahunan lain adalah pondok romadhlon. Kegiatan ini diisi dengan kajian-kajian kitab secara marathon mulai setelah shalat subuh pada pagi hari hingga pukul 22.00. Bahkan pada sepuluh hari terakhir di bulan romadhlon (malam lailatul qodar) kegiatan pengajian dilakukan hingga pukul 24.00. Jumlah santri pun juga mengalami peningkatan hampir dua kali lipat, karena banyak peserta yang berasal dari luar santri PPB.
D. Rekruitmen Santri
Dalam dunia Islam sangat dipercayai bahwa ilmu merupakan hidupnya agama, ‘al ilmu hayatul islam’. Jadi hidup dan mati Islam dan para pemeluknya tergantung pada apakah ilmu agama Islam itu dikuasai dan diamalkan oleh muslim atau tidak. Jika ilmu Islam tidak tersosialisasikan di kalangan umat Islam, maka roh Islam akan hilang. Oleh karena itu sangat mudah untuk dipahami jika kegiatan pengajian ilmu Islam menjadi sangat krusial dan mendapatkan prioritas utama di Pondok Pesantren LDII Burengan ini.
Meskipun sosialisasi nilai-nilai Islam sudah dilakukan di masjid-masjid LDII yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia dengan intensitas yang cukup tinggi (rata-rata 4 kali seminggu), namun pembentukan kader-kader pendakwah di masjid-masjid dan masyarakat merupakan kunci pengembangan Islam. Oleh sebab itu sesugguhnya masjid-masjid dan surau LDII yang tersebar di desa-desa maupun kota-kota merupakan pesantren-pesantren massal. Dengan demikian efek pengembangan dalam masyarakat juga menjadi semakin cepat.
Rekruitmen dan penerimaan santri di Pondok Pesantren LDII Burengan dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama adalah sistem ‘kiriman’. Dalam sistem ini masjid-masjid di tingkat PAC (Pengurus Anak Cabang)/ pada tingkat dengan dikoordinasikan oleh PC (Pengurus Cabang)/ pada tingkat kecamatan melalui mekanisme organisasi LDII mengirimkan pemuda-pemudi yang memiliki akhlak yang baik dan kemampuan yang memadai untuk mengikuti pendidikan di Burengan. Bisanya, pada tingkat PC mereka mengirimkan tiga calon mubaligh untuk belajar di Pondok Burengan. Masa belajar mereka rata-rata satu tahun. Setelah lulus mereka diwajibkan untuk mengikuti ‘tugasan’ atau ditugasi di daerah-daerah yang membutuhkan. Jika ditugaskan di Luar Jawa, para mubaligh tugasan ini minimal harus bertugas selama satu setengah tahun, sedangkan jika ditugaskan di Jawa, mereka memiliki masa tugas lebih pendek yaitu satu tahun. Adapaun biaya yang digunakan untuk pendidikan santri kiriman itu adalah sodaqoh dari dari jamaah dan seringkali juga berasal dari ‘bapak angkat’. Dengan demikian ada upaya saling tolong-menolong dalam pencerdasan kaum santri ini.
Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai ‘mubaligh tugasan’, jika mereka diminta oleh daerah tugasan untuk meneruskan menjadi pendakwah di daerah tugasan itu maka merekapun memiliki kebebasan untuk menentukan sikap apakah menerima ataukah menolak. Mereka juga mempunyai kebebasan untuk memilih menerima tugasan baru dengan cara melaporkan diri ke Pondok Burengan untuk ditugaskan kembali sesuai dengan permintaan masyarakat.
Cara yang kedua adalah rekruitmen secara sukarela dari para jamaah yang berkeinginan untuk belajar di Pondok Burengan. Biasanya mereka berasal dari keluarga ulama atau dari keluarga yang menginginkan anaknya menjadi ulama. Namun demikian untuk menjadi santri yang berasal dari rekruitmen sukarena ini harus mondok dulu di Pondok Gading Jombang atau ‘pondok mini’ lain. Baru setelah lolos seleksi mereka dapat belajr di Pondok Burengan. Jadi mekanisme test juga dilakukan oleh Pondok Burengan. Bagi mereka yang lolos test masuk dapat langsung belajar di Pondok Burengan, namun yang tidak lolos test harus mondok dulu di pondok mini.
Ditinjau dari asal sosial mereka, para santri yang kemudian menjadi mubaligh atau pendakwah sangat bervariasi. Ada santri yang berasat dari keluarga miskin dan sebaliknya tentu juga ada santri yang berasal dari keluarga kaya. Sangat menarik bahwa para santri di Burengan berasar dari berbagai daerah di Indonesia, bahhkan juga dari luar negeri. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya masid-majin LDII yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia dan bahwa juga di luar negeri seperti Malaysia, Singapuira, Brunei, Suriname, Eropa dan sebagainya.
Setelah para santri dapat menyelesaikan paket pembelajaran (baik di Burengan maupun di pondok pesantren LDII yang lain), mereka langsung ditugaskan di masjid-masjid. Mereka akan menyebarkan ilmunya kepada jamaah-jamaah yang sesuai dengan sistem pembelajaran di pesantren. Dengan demikian pada hakekatnya semua warga LDII juga merupakan santri. Jadi tidak ada proses ‘elitisasi’ ilmu Islam karena hakekatnya setiap orang Islam harus berilmu dan ini berarti setiap warga LDII juga ulama.
E. Metode Pembelajaran
Dalam Islam, pembelajaran pada hakekatnya adalah proses pemindahan pesan-pesan dari satu orang kepada orang lain. Metode pembelajaran yang digunakan baik dalam pondok pesantren maupun pengajian di masjid-masjid yang diikuti oleh jamaah biasa adalah metode sebagaimana yang digunakan oleh Nabi. Jadi ada semacam gerakan pemurnian dalam metode pembelajaran. Dalam agama Islam, sejak nabi Muhammad SAW dan para khalifah serta sahabat , proses pemindahan pesan-pesan yang terkandung dalam Al Qur’an dan Hadits dilakukan melalui metode membaca, menulis, dan mendengar yang dalam ilmu komunikasi disebut sebagai verbal communication. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: ‘Kalian mendengar (ilmu dariku), kemudian kalian didengar oleh murid kalian dan murid kalian didengar ole muridnya’ (Hadits Riwayat Abu Dawud). Jadi metode transfer ilmu dalam PPB mencakup dua aspek sekaligus yaitu komunikasi lisan (oral communication) dan komunikasi tulisan (written communication).
Oleh karena metode ini bukan hanya diterapkan di Pondok Burengan saja tetapi juga di seluruh pondok LDII maka para jamaah biasa sudah terbiasa dengan metode pembelajaran di pesantren. Metode ini merupakan metode pembelajaran di mana guru menyampaikan makna dan keterangan serta sejarah turunnya ayat-ayat atau hadits yang bersangkutan. Materi yang diampaikan oleh mubaligh itu berasal dari gurunya dan seterusnya sambung-menyambung hingga sampai kepada para sahabat dan Nabi. Demikian juga para santri akan menyampaikan bahan ajar itu kepada orang lain menjadi binaannya. Jadi metode pembelajaran ini saling mengikat secara keilmuan atau guru dan murid memiliki hubungan yang tiada terputus bagaikan rantai yang teputus-putus.
Dalam kontek ini, pelaksanaan metode pembelajaran Islam yang murni dan konsisten akan mengokondisikan kemurnian ajaran Islam itu sendiri. Metode ini menjauhkan pikiran-pikiran ke arah reintepretasi terhadap hukum-hukum Islam yang akan menimbulkan perpecahan-perpecahan agama. Memang ijtihad diakui sebagai salah satu dasar hukum tetapi ijtihad ini diarahkan untuk memberi jalan keluar terhadap persoalan-persoalan aktual dengan dasar hukum Al Qur’an dan Hadits.
Sebaliknya pembelajaran yang islami ini juga dapat dilakukan dengan cara murid, karena mungkin murid sudah pandai, membacakan kitab, makna, dan keterangan. Sementara itu guru mendengarkan, membenarkan atau menyalahkan. Jika santri sudah membacakan kitab di hadapan guru dan jika sang guru bisa menerimanya maka ilmu sang murid sudah sah. Cara seperti ini isebut sebagai munawalah.
F. Jaringan Pembelajaran
Sebagaimana yang terjadi dalam dunia pesantren pada umumnya, hubungan kyai dan santri tidak hanya terbatas pada hubungan dalam bidang ilmu agama yaitu ketka santri sedang berguru, tetapi juga masa-masa setelah mereka keluar dari pesantren. Pondok Burengan dan pondok-pondok pesantren LDII membangun jaringan hubungan antara kyai dan santri tidak hanya dalam kehidupan pondok pesantren tetapi juga ketika santri telah lulus.
Dalam komunitas LDII, hubungan kyai dengan santri atau dengan jamaah biasa tidak hanya didasarkan atas hubungan-hubungan kekerabatan sesama muslim, namun juga lewat hubungan ilmu agama. Dalam hal ini ada program rutin di mana secara periodik mubaligh-mubaligh dikirim ke Pondok Burengan penyegaran kajian Al Qur’an dan Hadits. Kegiatan ini disebut ‘asrama’. Biasanya ‘asrama’ pada musim tertentu mengkaji kitab tertentu pula seperti khusus Al Qur’an saja atau Hadits Muslim saja, dan sebagainya. Asrama berlangsung selama beberapa hari atau kadang juga beberapa minggu sesuai dengan taget pengkataman kitab tertentu atau juz tertentu. Kegiatan ‘asrama’ ini dapot dipandang sebagai kegiatan refresh atau penyegaran kembali terhadap ilmu yang dikuasai oleh para santri yang barangkali sudah lama tidak lagi mengkajinya. Dengan demikian mereka akan segar dan ingat kembali ilmu yang ditulisnya dalam kitab-kitab mereka.
Dapat juga asrama ini diselenggarakan denggan cara mengundang kyai untuk menyampaikan kajian ilmu mereka di daerah-daerah. Kyai dari Pondok Burengan dapat datang sesuai dengan permohonan daerah. Dapat pula terjadi secara resmi kyai diutus oleh Pondok Burengan ke daerah-daerah untuk menyampaikan pembelajaran di masjid-masjid di daerah. Sementara itu di tingkat daerah, metode semacam ini juga diselengarakan dengan peserta para mubaligh di tingkat lokal (di tingkat PAC atau setingkat desa dan PC atau setingkat kecamatan). Bahkan para peserta itu bukan hanya para mubaligh lulusan Pondok Pesantren Burengan, tetapi juga para pengurus atau takmir di tingkat lokal. Dengan demikian hubungan antara kyai dengan santri dan jamaah dalam bidang keilmuan masih terjaga dengan baik.
IV. Hubungan Sosial dengan masyarakat
A. Penugasan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa rekruitmen santri di Pondok Pesantren Burengan berasal baik dari kiriman takmir-takmir masjid maupun dari para jamaah yang secara sukarela ingin memperdalam secara efektif ilmu agama di pondok pesantren.7 Para santri yang telah menamatkan pelajaran di Pondok Pesantren Burengan biasanya langsung ditugaskan oleh pondok untuk mengabdikan ilmunya di masjid-masjid yang memang membutuhkan. Seperti diketahui bahwa masjid-masjid ini merupakan suatu unit komunitas terkecil yang sebetulnya secara langsung memiliki umat. Oleh karena itu para takmir masjid ini sebetulnya yang mengetahui secara pasti apakah mereka membutuhkan tambahan mubaligh atau tidak. Mereka yang biasanya menyampaiakn kebutuhan akan mubaligh untuk kemudian pengurus pada tingkat kota atau kabupaten menyampaiakan kepada Pondok Burengan. Pada saat sekarang ini sudah jarang satu masjid hanya memiliki satu mubaligh. Kebanyakan setiap masjid sudah memiliki dua hingga 3 mubaligh dan bahkan banyak pula yang memiliki tiga mubaligh, terutama di kota-kota.
Selama penugasan pertama itu para mubaligh pemula langsung terjun di masjid-masjid untuk melayani para jamaah. Mereka harus berkonsultasi dengan mubaligh-mubaligh setempat. Selain itu mereka juga harus berkoordinasi dengan para pengurus atau takmir masjid setempat dalam pelayanan umat. Demikian juga para mubaligh muda ini harus melakukan pendekatan dengan para jamaah setempat beserta masyarakat yang ada di sekitar masjid yang mungkin hanya sebagian kecil yang ikut kegiatan pengajian di masjid-masjid LDII. Dengan demikian peran mubaligh sangat signifikan dalam pembentukan citra warga LDII di tingkat lokal. Sang mubaligh muda harus dapat bertindak sebagai suri tauladan bagi jamaah setempat.
Selama masa penugasan para mubaligh muda ini biasanya tidak diperbolehkan pulang ke rumah orang tua. Mental mereka digembleng untuk terbiasa jauh dengan orang tua serta dapat mandiri. Suatu hal yang menarik adalah bahwa selama bertugas, kehidupan ekonomi mereka secara ‘bil ma’ruf’ atau secukupnya ditanggung oleh jamaah masjid yang dibinanya.
Setelah masa penugasan selesai, mereka dibebaskan untuk pulang ke rumah orang tua. Untuk selanjutnya mereka harus siap untuk ditugaskan ke berbagai daerah baru jika mereka masih menginginkan. Untuk selanjutnya daerah (tingkat kota atau kabupaten) yang akan menentukan di masjid mana mereka harus mengabdi.
B. Praktik Budi Luhur
Dalam pembelajaran di Pondok Pesantren Burengan ditekankan bahwa pemahaman terhadap Al Qur’an dan hadits secara intelektual belum cukup. Para santri ditekankan untuk memiliki afeksi dan psikomotor islami sebagai manifestasi dari pemahamannya terhadap hukum Islam. Jika pemahaman secara intelektual terhadap hukum Islam barangkali lebih berhubungan dengan kehidupan pribadi, tetapi aspek-aspek sikap dan tingkah laku lebih banyak berhubungan dengan orang lain. Aspek-aspek yang disebutkan terakhir inilah yang akan menciptakan pencintraan terahadp warga LDII. Tingkat penerimaan masyarakat terhadap gerakan yang dibawa oleh LDII sangat bergantung kepada aspek sikap dan tingkah laku para mubaligh pada khususnya dan warga LDII pada umumnya. Oleh karena itu Pondok Pesantren Burengan selalu menekankan pentingnya memiliki budi luhur atau akhlaqul karimah bagi segenap warga LDII.
Praktik budi luhur di dalam masyarakat mencakup beberapa hal, antara lain mengagungkan dan taat kepada orang tua, mengagungkan kepada para ulama, budi luhur terhadap sesama muslim, dan budi luhur terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. Sikap mengagungkan dan taat kepada orang tua (selagi tidak perintah maksiat) merupakan amal sholih dan sekaligus perintah dari Allah meskipun orang tua itu bukan seorang muslim. Praktik budi luhur kepada orang tua anatara lain bertutur kata dengan bahasa yang halus atau sopan, bila disuruh segera melaksanakan jika tidak maksiyat, bila dinasehati anak harus mendengarkan dan tidak memotong pembicaraan, senang membantu pekerjaan orang tua di rumah, tidak bohong dan jujur kepada mereka, dan sebagainya.
Bersikap mengagungkan kepada para ulama merupakan suatu kewajiban. Kepada para santri dan warga LDII selalu ditekankan tentang pentingnya sikap mengagungkan kepada para pengurus. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa mereka memiliki andil yang besar dalam mencerdaskan masyarakat. Para ulama dan mubaligh juga merupakan ‘wasilah’ atau perantara bagi ilmu-ilmu Islam. Beberapa contoh sikap dan prilaku yang menunjukkan sikap mengagungkan ulama antara lain: memanggil dengan panggilan yang sopan, berbicara dengan nada suara yang rendah, jika ulama berbicara maka harus mendengarkan, tidak membelakanginya ketika sedang dalam pengajian, jika ulama berbuat kesalahan ketika mengajar tidak boleh dihina, dan sebagainya.
Terhadap sesama muslim juga dikembang sikap budi luhur. Sesama muslim harus dibangun sikap ukhuwah islamiyah atau persaudaraan dalam Islam. Di dalam pembelajaran di Pondok Pesantren Burengan, semangat persaudaaan Islam ini betul-betul sangat ditekankan. Hal ini antara lain dapat diliohat dari semangat dan sikap bahwa harta sesama muslim adalah haram untuk diambil secara tidak sah, sesama muslim tidak boleh saling menghina dan menjatuhkan namanya. Di samping itu ditekankan bahwa sesama muslim tidak bolah saling membunuh. Ajaran moral yang Islami semacam ini sangat menarik sebagai bekal yang berarti bagi santri alumni Pondok Burengan Kediri.
Keberadaan warga LDII di tengah-tengah masyarakat bagaikan ikan yang berada di dalam air. Oleh karena itu pembinaan akhlak di Pondok Pesantren Burengan juga selalu menekankan betapa pentingnya para alumni pondok membangun hubungan baik dan kemitraan dengan masyarakat di mana mereka mengabdikan ilmu agamanya. Mereka yakin bahwa dakwah dengan perbuatan (bil khal) menjadi sarana yang hebat untuk mnyebarkan Islam. Beberapa ajaran dalam kaitannya dengan budi luhur kepada masyarakat antara lain: apabila bertemu dengan tentangga menyapa, apabila melewati sekelompok masyarakat menyapa dengan sopan, melayat warga yang sedangminggal dengan memberikan sumbangan, menjenguk tetangga yang sakit, ikut berpartisipasi dalam kerja bakti, meminta ijin jika tidak bisa mengikuti kegiatan RT, menyadari kekurangan dan mudah memaafkan, dan sebagainya.
Di samping itu ajaran moral yang betul-betul ditekankan di Pondok Burengan dan bahkan di masjid-masjid LDII yang lain adalah adanya enam tabiat luhur yang mencakup rukun, kompak, kerjasama yang baik, jujur, amanah, mujhid muzhid (hemat). Dengan ‘doktrin’ moral ini diharapkan para alumni Pondok Burengan betul-betul menjadi warga masyarakat dan warga negara yang baik yang akan mampu menciptakan iklim kedamaian dalam masyarakat.
C. Kerjasama dengan Masyarakat Sekitar
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa pesantren bukanlah symbol dari ‘elitisasi’ ilmu Islam. Dalam hubungan itulah Pondok Burengan berusaha untuk menghilangkan kesan adanya keterpisahan antara pondok pesantren dengan masyarakat di sekitarnya. Di bidang ekonomi, Pondok Burengan meluncurkan program ekonomi mandiri dengan cara mendirikan UB (Usaha Bersama) yang merupakan unit retail yang bukan hanya melayani warga pondok namun juga melayani masyarakat di sekitarnya.
Selain itu di bidang kemasyarakatan Pondok Burengan juga menjalin hubungan yang sinergis dengan pemerintah kabupaten Kediri untuk memperkuat ukhuwah antara ulama dengan umara. Bukti yang dapat dikemukakan di sini adalah keikutsertaan Pondok Burengan dalam lembaga Paguyuban Antar Umat Agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lembaga ini merupakan badan kerjasama antar umat beragama dalam mengatasi berbagai persoalan yang harus dipecakan bersama-sama.
V. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan:
Meskipun gerakan dakwah yang dilakukan oleh Pondok Pesantren LDII Burengan merupakan gerakan dakwah untuk kembali kepada kemurnian Al Qur’an dan Al Hadits, namun dengan menerapkan model pembelajaran yang berorientasi kepada pembinaan akhlak (konsep budi luhur) ternyata menghasilkan sebuah gerakan dakwah Islam yang damai yang lebih menekankan segi-segi budaya dan intelektualitas dalam mengaktualisasi hukum-hukum agama.
Aktualisasi budi luhur atau akhlaqul karimah yang diajarkan di Pondok Pesantren Burengan dapat berlangsung relatif permanen karena dikondisikan oleh jaringan pembelajaran yang solid yang termanifestasikan dalam hubungan yang selalu terjaga antara alumni pondok dengan lembaga pondok lewat media ‘asrama’ yang diselenggarakan secara periodik.
Pendekatan kultural dan intelektual dalam menanamkan hukum-hukum Islam yang murni telah melahirkan gerakan dakwah Islam yang damai.
1 Bahkan pada tahun 1997, Pondok Pesantrenini tercatat memiliki santri sebanyak 1728 orang dengan perincian 868 laki-laki dan 860 perempuan. Lihat Departemen Agama Republik Indonesia, Data Potensi Pondok Pesantren Seluruh Indonesia Tahun 1997 (Jakarta: Departemen Agama RI, 1997), hlm. 819.
2 Santri mukim merupakan sebutan untuk santri yang bertempat tinggal di pondok pesantren selama belajar di pesantren, sedangkan santri mukim merupakan santri yang bertempat tinggal di luar komplek pondok pesantren.
3 Lihat misalnya Muhtarom H.M., ‘Urgensi Pesantren dalam Pembentukan Kepribadian Muslam’, dalam: Ismail S.M., Nurul Huda, dan Abdul Kholiq (eds), Dinamika Pesantren dan Madrasah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 39-48.
4 Istilah asrama mengacu kepada kegiatan pengkhataman kitab secara marathon dalam waktu tertentu. Dalam acara ini para peserta, terutama yang berasal dari luar kota, biasanya menginap atau berasrama di pondok pesantren sehingga dapat sepenuhnya mengikuti kajian kitab.
5 Ludhy Cahyana, Islam Jamaah di Balik Pengadilan Media Massa: Suatu Analisis mengenai Pembunuhan Karakter terhadap Lemkari/ LDII (Jakarta: Benang Merah, 2003), hlm. 36-40.
6 Abdullah Syam, ‘Laporan Pertanggungjawaban Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah islam Indonesia Periode 1998-2005’, dalam DPP LDII, Himpunan Keputusan MUNAS VI Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Jakarta 11-13 Mei 2005 (Jakarta: DPP LDII, 2005), hlm. 43-44.
7 Setiap masjid LDII biasanya memiliki paling tidak 1 mubaligh yang secara khusus memberikan pengajian-pengajian baik untuk anak-anak maupun remaja dan orang dewasa, baik pemula (mualaf) maupun orang yang sudah lama memeluk Islam (mukalaf).

Selasa, 15 November 2011

إِنَّا جَعَلْنَــاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُـــــونَ

Tentang Bahasa Arab

Sesungguhnya Kami telah menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab, supaya kalian memahaminya (QS. Az Zukhruf:3) Bahasa Arab (اللغة العربية al-lughah al-‘Arabīyyah, atau secara ringkas عربي ‘Arabī) adalah salah satu bahasa Semitik Tengah, yang termasuk dalam rumpun bahasa Semitik dan berkerabat dengan bahasa Ibrani dan bahasa-bahasa Neo Arami. Bahasa Arab memiliki lebih banyak penutur daripada bahasa-bahasa lainnya dalam rumpun bahasa Semitik. Ia dituturkan oleh lebih dari 280 juta orang sebagai bahasa pertama, yang mana sebagian besar tinggal di Timur Tengah dan Afrika Utara. Bahasa ini adalah bahasa resmi dari 25 negara, dan merupakan bahasa peribadatan dalam agama Islam karena merupakan bahasa yang dipakai oleh Al-Qur'an. Berdasarkan penyebaran geografisnya, bahasa Arab percakapan memiliki banyak variasi (dialek), beberapa dialeknya bahkan tidak dapat saling mengerti satu sama lain. Bahasa Arab modern telah diklasifikasikan sebagai satu makrobahasa dengan 27 sub-bahasa dalam ISO 639-3. Bahasa Arab Baku (kadang-kadang disebut Bahasa Arab Sastra) diajarkan secara luas di sekolah dan universitas, serta digunakan di tempat kerja, pemerintahan, dan media massa.

Bahasa Arab Baku berasal dari Bahasa Arab Klasik, satu-satunya anggota rumpun bahasa Arab Utara Kuna yang saat ini masih digunakan, sebagaimana terlihat dalam inskripsi peninggalan Arab pra-Islam yang berasal dari abad ke-4 Bahasa Arab Klasik juga telah menjadi bahasa kesusasteraan dan bahasa peribadatan Islam sejak lebih kurang abad ke-6. Abjad Arab ditulis dari kanan ke kiri.

Bahasa Arab telah memberi banyak kosakata kepada bahasa lain dari dunia Islam, sama seperti peranan Latin kepada kebanyakan bahasa Eropa. Semasa Abad Pertengahan bahasa Arab juga merupakan alat utama budaya, terutamanya dalam sains, matematik adan filsafah, yang menyebabkan banyak bahasa Eropa turut meminjam banyak kosakata dari bahasa Arab.

الحمد الله جزا كم اله خيرا

Senin, 14 November 2011

Keajaiban Senyum

najla @ khanza
Ingin Terlihat Awet Muda? Banyak-banyaklah Tersenyum
Berbagai cara dilakukan orang agar terlihat lebih awet muda dari usia sebenarnya. Hal yang paling sering adalah dengan memakai produk kosmetik atau mengonsumsi suplemen tertentu. Padahal cara sederhana seperti tersenyum, sudah bisa membuat seseorang terlihat lebih muda.
Peneliti asal Jerman melakukan sebuah percobaan terhadap beberapa orang untuk menebak usia orang lain dengan melihat beberapa foto wajah dari 171 orang muda, setengah baya, dan lebih tua. Pada beberapa foto, menampilkan wajah yang tersenyum. Di sisi lain, diperlihatkan juga foto dengan ekspresi wajah marah, takut, jijik, atau sedih.
Dalam studi yang dimuat dalam Journal Cognition & Emotion itu, peneliti menunjukkan bahwa ekspresi wajah memiliki pengaruh besar pada berapa orang dengan usia lebih tua. Tersenyum ternyata membuat penampilan seeorang menjadi lebih muda. Bahkan, kebanyakan orang cenderung meremehkan usia seseorang ketika melihat foto mereka yang sedang tersenyum.
Peneliti memberikan beberapa alasan terkait efek tersenyum terhadap usia. Pertama, akan sulit untuk mengatakan apakah kerutan yang terlihat di wajah ketika tersenyum bersifat sementara atau permanen. Kedua, dengan tersenyum seseorang akan terlihat lebih menarik dan memberikan efek positif layaknya anak muda. Sehingga orang lain akan menilai mereka lebih muda dari usia yang sebenarnya.

Tersenyum, betapa mudahnya hal ini dilakukan.  Hanya butuh sedetik untuk merubah bentuk bibir menjadi senyum.  Dan hanya butuh tujuh detik mempertahankan sang senyum untuk terlihat sebagai ungkapan ketulusan hati.
Tetapi kenapa hal sederhana ini jarang terlihat?  Wajah-wajah di jalan, di angkutan umum, di kantin, di kantor, bahkan di tempat wisata yang seharusnya menjadi kebun senyum, justru terlihat buram.  Kerutan-kerutan di wajah menunjukkan betapa berat beban yang harus ditanggung wajah-wajah itu.  Banyak wajah yang daerah diantara dua matanya mengkerut.  Menyeramkan dan tampak garang.  Duh...
Senyum itu sudah hilang dari wajah banyak orang.  Entah kenapa senyum – bahkan tawa – yang selalu cerah menghiasi wajah-wajah itu dari kecil, sirna begitu saja.  Sekarang, bahkan bukan hanya wajah-wajah tua dan dewasa yang telah kehilangan senyum manis.  Wajah para remaja dan anak-anak pun telah ketularan kerutan-kerutan penuh beban itu.
Senyum pada hakikatnya adalah salah satu anugerah indah dari Tuhan Yang Maha Indah.  Tuhan sengaja menganugerahkan  senyum sebagai bagian dari keindahan manusia.  Sayang, anugerah indah ini, tidak banyak ditemui di wajah banyak manusia.  Dunia akan jauh lebih indah bila penduduknya gemar tersenyum.
Hidup dan kehidupan manusia pun akan lebih indah dan menenteramkan bila kita menemui banyak senyum di sekeliling kita.  Terutama sang senyum dari wajah kita sendiri.  Bukankah sangat enak bila kita menerima senyum?  Dan bukankah jauh lebih enak bila kita lah yang memberi senyum?
Saudara, senyum yang sederhana, mudah dan gratis itu ternyata menyimpan banyak keajaiban.  Setidaknya dari berbagai pengalaman dalam hidup saya.  Yap, dalam hidup saya, saya menemui banyak keajaiban.  Bentuknya macam-macam.  Ada  kemudahan, kesehatan, kekayaan, kebaikan, solusi dan sebagainya dari sebuah senyuman.

Sang senyum – lengkungan yang menurut Pak Gede Prama bisa meluruskan banyak hal – adalah hal yang luar biasa. Ia seperti oase di tengah gurun pasir.  Ia seperti setetes air jernih dari mata air yang bisa menghilangkan dahaga.  Ia seperti udara bagi yang tercekik.  Ia seperti sumbangan uang bagi fakir miskin yang dirawat di rumah sakit.  Ia seperti mangga muda bagi ibu muda yang sedang ngidam.  Ia seperti pinjaman uang bagi yang sedang membutuhkan. 
Ia juga seperti semangkuk mie instan bagi pengungsi yang kelaparan. 
Senyum pada hakikatnya adalah kebutuhan manusia.  Siapa yang senang tersenyum membuat jiwa, perasaan, pikiran dan fisiknya terpenuhi salah satu kebutuhannya.  Bila manusia tidak senang tersenyum, ada luka di jiwa, rasa dan pikirnya.  Sang jiwa yang terluka membuat hidup dipenuhi kegelisahan.  Sang rasa yang terluka membuat hidup tidak tenang.  Sang pikir yang terluka membuat hidup penuh beban.
 Aturan Senyum Tulus
Senyum tulus ada aturannya?  Ya, ada.  Aturan ini saya dapat dari dua orang guru saya.  Pertama Pak Jamil Azzaini.  Kedua, Pak Amir Tengku Ramly.  Pertama sekali, saya belajar dari Pak Jamil, bahwa senyum itu harus 227.  Artinya senyum baru terlihat tulus dengan menarik bibir ke kanan 2 cm, ke kiri 2 cm, pertahankan minimal selama 7 detik.  Bila kurang dari 7 detik, maka senyum itu akan kehilangan ketulusannya.
Aturan ini lalu disempurnakan oleh Pak Amir.  Menurut Pak Amir, senyum itu harus 127.  Angka satu artinya sang senyum harus lah berasal dan bertujuan untuk menyatukan hati. Hati yang memberi dan menerima senyum.  Dengan begitu, senyum itu berperan sebagai pengikat dan jembatan antara satu diri dengan diri-diri yang lain. Sedang angka 2 dan 7, maknanya sama dengan aturannya Pak Jamil.
 Itulah senyum saudara... 
Ia sederhana, tapi dahsyat luar biasa. 
Ia kecil, tapi bermakna raksasa. 
Ia mudah, tapi sangat berharga. 
Karenanya,....
Tersenyum lah saudara
Nikmati keajaiban-keajaiban dalam hidup anda.
Senyum itu ibadah
Dan...
Bagikanlah keajaiban bagi hidup sesama kita.

Tips Sehat Lahir Batin Saat Ramadhan

  1. Tidurlah setelah sholat tarawih
  2. Bangun pada awal sepertiga malam, minum air putih 2 gelas (400 cc)
  3. Bagi yang belum witir dapat menambah Qiyamul Lail kemudian witir.
  4. Sebelum makan sahur, minum setengah gelas minuman dengan PH sedikit asam (sari jeruk, anggur, apel, nanas, yoghurt, dsb)
  5. Makan sahur dimulai dengan menu daging, ikan, atau telur dilanjutkan dengan nasi, sayur, dan buah. Ditutup dengan secangkir kopi atau teh.
  6. Subuh – Dhuha. Usahakan jangan tidur setelah sholat subuh. Isikan dengan tadarusan, dan dapat diselingi dengan olahraga, relaksasi seperti jalan santai diseputar rumah atau kebun.
  7. Dhuha  – sekitar jam 10 WIB diisi dengan kegiatan afektif (silaturahmi, mencari data ataupun mengevaluasi diri)
  8. 10 WIB – Dhuhur diisi dengan pekerjaan yang membutuhkan ketelitian.
  9. Sholat Dhuhur lengkap dengan sunnah rawatib
  10. ba’da Dhuhur – Asar untuk melakukan aktivitas kognitif (pekerjaan yang mengutamakan kecerdasan)
  11. Asar – Maghrib digunakan untuk kegiatan yang memelrukan kebijaksanaan (menegur anak, memperingatkan staf dikantor atau saling menasehati)
  12. Pada saat berbuka, awalilah dengan sedikit makanan manis, diikuti dengan air putih lalu sholat maghrib.
  13. Usai sholat makan malam dengan mendahulukan daging, ikan, telur, tahu, tempe, baru nasi, sayur, dan buah. Tutup dengan secangkir teh.
najla @ khanza

Menjaga Lisan

najla @ khanza
 
setiap ucapan Bani Adam itu membahayakan dirinya (bukan memberi manfaat), kecuali kata-kata berupa amar ma’ruf nahi mungkar ( memerintahkan kebaikan, melarang kemungkaran) dan Dzikrullah Azza wa Jalla (mengingat Allah Azza wa Jalla). (HR Tirmidzi)

Mengapakah pada saat-saat beribadah kepada Allah, kita sering tidak merasakan kekhusyukan, apalagi sampai dapat menitikkan air mata, sehingga hampir tidak pernah terasakan lagi lezat dan nikmatnya menghadap Allah?
Ternyata semua itu berpangkal dari hati yang kesat dan kotor. Di dalam hati yang demikian memang tak akan pernah bersemayam nuur (cahaya) iman yang sesungguhnya.
Akibat lain dari memiliki hati yang busuk, kusam, kusut, dan kotor adalah tidak akan pernah mampu kita melahirkan kalimat-kalimat lisan yang benar dan bermutu. Tiap-tiap kalimat yang keluar dari lisan, kata Syeikh Ibnu Atha’illah, pastilah membawa corak bentuk hati yang mengeluarkannya. Betapa tidak? Hati itu bisa diibaratkan dengan teko. Teko hanya mengeluarkan isinya. Bila ia berisi air kopi, maka yang keluarpun pastilah air kopi. Demikian pula jika isinya air bening, maka yang keluar pun pstilah air bening,
Terjadinya lisan seseorang menghamburkan kata-kata kasar, menyakitkan, jorok, dan sia-sia, semua itu, tidak bisa tidak, bersumber dari hati yang tidak beres. Seseorang yang hatinya tidak selamat akan sangat sulit mengendalikan lisannya. Apa saja yang terlihat di depan matanya niscaya akan membuat lidahnya gatal untuk segera berkomentar, terlepas dari komentarnya itu bermutu atau tidak, bermanfaat bagi dirinya atau tidak, ada yang mendengarkan atau tidak. Jelas, tak akan pernah disadari bahwa perkataaanya mungkin bisa sisa-sia.
Bahakan tidak jarang pada akhirnya sang lisan jadi tergelincir ke dalam perbuatan ghibah karena hanya gemar menyelisik kekurangan dan air orang lain. Bilapun perkataannya didengar oleh orang yang dinilainya, maka jadilah ia perkataan yang menganiaya dan menyakiti perasaannya. Bahkan tidak jarang pula lebih meningkat lagi daripada itu, yakni fitnah! Padahal, sungguh pandangan manusia itu amat terbatas untuk menilai kebaikan atau keburukan seseorang.
Perkataan yang kurang bermutu dan hampa maknsa bisa juga keluar dari lisan seseorang yang didasari oleh hati yang tidak ikhlas. Ini bisa terjadi pada siapa saja. Adalah ia seroang sahabat, guru, atasan, bahkan mubaligh atau orang tua sekalipun. Mengapa ada seorang anak yang habis-habisan dinasihati oleh orang tua atau gurunya, tetapi tetap saja berkelakuan buruk? Jawabnya, mungkin karena mereka tidak menasihatinya dengan hati yang benar-benar tulus semata-mata ingin membimbing sang anak ke jalan yang benar. Mungkin nasihat itu keluar dari lisannya seraya hatinya penuh diselimuti nafsu amarah.
Mengapa pula seorang mubaligh telah habis-habisan berceramah menyampaikan kebenaran, tetapi toh tak membekas sama sekali di hati para jamaahnya? “kemungkinan yang demikian itu dari engku sendiri,” kata Muhammad bin Wasi’, seorang ulama ahli ma’rifat. Sebab, kata Wasi’, bila nasihat itu keluar dai hati yang ikhlas, pastilah masuk ke dalam hati. Sebaliknya nasihat yang hanya berupa gubahan lidah dan reka-rekaan belaka, ia akan masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sebagus apa pun kata-kata yang terucap, bila keluar dari hati yang riya, sum’ah (sekedar mencari popularitas), ujub, atau takabur, maka ia taka akan pernah mampu menghunjam ke dalam lubuh hati pendengarnya.
Lidah memang tak bertulang. Mengeluarkan kata-kata yang bagimanapun dari lisan sungguh termat mudahnya. Akan tetapi, apa dampaknya dan bagaimana akibatnya, itulah yang sering tidak terpikirkan. Sepatah kata yang terucap sama sekali tidak akan membuat tubuh seseorang terluka, namun siapa yang tahu kalau justru hatinya yang tersayat-sayat. Atau sebaliknya, sepatah kata yang terucap, justru malah menjadi penyebab si pengucapnya mendapat celaka ataupun selamat, baik ketika di dunia maupun di akhirat kelak. Rasulullah saw bersabda, “setiap ucapan Bani Adam itu membahayakan dirinya (bukan memberi manfaat), kecuali kata-kata berupa amar ma’ruf nahi munkar dan Dzikrullah ‘Azza wa Jalla!” (HR Trimidzi)
Karenanya, jangan heran kalau hanya disebabkan sepatah dua patah kata saja yang terlontar dari mulut bisa terjadi perkelahian, dua orang saudara bisa bermusuhan, bahkan membuat seseorang mendekam di balik terali besi. Sebaliknya, tidak perlu heran pula bila berkat satu dua patah kata seseorang bisa selamat dari malapetaka yang akan menimpanya.
Apalagi balasan yang akan menimpa kita di akhirat kelak sebagai akibat terpelihara atau tidaknya lisan. “Barang siapa yang memelihara apa yang ada di antara janggutnya (yakni lisannya) dan apa yang ada di antara kedua pahanya (yakni farjinya) karena aku, “ sabda Rosulullah, “niscaya akan kujamin dia masuk surga” (HR Bukhari). Sesungguhnyalah, “Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, yaitu mulut dan farji” (HR Tirmidzi).
Dengan demikian, hendaknya kita selalu berhati-hati dengan lisan. Setiap kata yang hendak diucapkan hendaknya terlebih dahulu dipikirkan masak-masak. Sekiranya kata-kata yang akan terucapkan itu tidak ada manfaatnya, sebaiknya kita memilih diam. Rosulullah saw bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia mengucapkan kata-kata yang baik atau diam” (HR Bukhari Muslim)
Lidah, tanda tenaga dan tanpa biaya bisa kita gerakkan setiap saat. Barang siapa di antara kita terlampau banyak bicara, akan sangat cepat mengeraskan hati. Orang yang paling beruntung di dunia ini adalah “fal yaqul khairan au liyashmut” – orang yang sangat bisa memperhitungkan setiap kata-kataya. Barang siapa yang berpiirnya lebih banyk daripada bicaranya, insyaAllah, kata-katanya akan membersihkan hati.
Hati yang selamat, Subbanallah, siapapun pasti merindukannya. Hati yang selamat tidak ahanya akan menyelamatkannya di dunia, tetapi juga di yaumil hisab nanti. Yakni, “Yauma laa yanfa’u maalun walaa banuun, illaa man atallaaha bi qalbin saliim” (QS Asy Syu’ara [26] : 88-89). Pada hari ketika harta dan anak-anak tidak lagi bermanfaat, kecuali hati yang selamat!

Sebaik-baik Penegur

Tak banyak manusia mampu tersadar dari kesalahannya walau telah banyak teguran baek itu dalam bentuk lisan ataupun perbuatan yang diterimanya. Sungguh miris melihatnya, karena akan berpengaruh kepada orang disekelilingnya. Tak luput membuat orang lain merasa terdholimi dengan perbuatannya itu. Jika teguran manusia tak mampu membuatnya sadar, cukuplah Allah SWT sebaik-baik Penegur.
Teman apakah kamu tidak tahu kami teman-teman kamu peduli akan dirimu. Mungkin kami sudah merasa banyak memberikan kemudahan atahupun kebaikan untuk kamu, namun kami juga merasa bahwa kebaikan itu telah kamu manfaatkan terlalu berlebihan hingga kamu tak menghiraukan kami yang ada disini.
Adapun kesalahan kami, kamu tak mudah memberikan maaf sampai harus menampakkan kemarahanmu kepada kami. Pernahkah kamu merasa saat kamu melakukan kesalahan kami tak banyak menggubris karena kami ingin menjaga perasaanmu?, karena kami tak ingin bertengkar denganmu? Sungguhkah kamu tak menyadarinya?
Jangan mudah kamu menyalahkan orang lain jika kamu sendiri telah memulai kesalahan itu. Jangan mudah merasa kamu adalah orang yang paling terdholimi sedang kamu sendiri tidak merasakan orang laen disekelilingmu merasa terdholimi akan sifat kamu. Jangan terkejut jikalau kamu tiba-tiba mengalami suatu kejadian yang membuatmu merasa didholimi. Tak pernah kami sengaja melakukannya, namun tak bisa kami pungkiri teman… bahwa kami terkadang merasa sedikit senang melihatmu bisa merasakan bagaimana menjadi orang yang terdholimi sebagimana apa yang pernah kau lakukan kepada kami. Maafkan sikap ini teman…
Teman…mengertilah, pahamilah, jangan sampai Allah SWT bisa memberimu teguran lebih sulit daripada selama ini kau terima. Sadarlah teman kami akan selalu mendukungmu dalam kebaikan. Tak pernah kami lupa berdoa dibeberapa ibadah kami untukmu baek untuk kebaikanmu tapi juga agar Allah memberikan teguran yang terbaek untukmu. Kami telah lelah teman akan segala sikap ketidak pedulianmu, sikap cuek kamu, sikap yang seenak kamu sendiri, dan pemanfaatan kebaikan kami kepadamu.
najla @ khanza
 “Ya Allah, jika teguran kami tak bisa membuatnya menyadari kesalahannya, tegurlah dia dengan cara Mu karena Engkau adalah sebaik-baik Penegur makluk Mu, ampunilah kami yang telah berputus asa.”

Keikhlasan

Bukan hal yang mudah untuk menjadikan keikhlasan sebagai niat disetiap apa yang ingin kita lakukan lebih-lebih jika itu berkaitan dengan ibadah, keikhlasan karena Allah SWT.
Kita mampu untuk mengatakan “ ya aku ikhlas” namun belum tentu kata itu mengalir dari lubuk hati kita yang paling dalam.
Mudah bagiku mungkin juga mudah bagimu berkorban sesuatu demi orang yang kita cintai dan mencintai kita…orang tua, suami/ istri, saudara, dan orang lain. Mereka yang banyak membantu kita walau tidak setiap waktu. Sampai-sampai kita enggan jikalau mereka terluka hatinya jika kita tidak memperhatikannya dan itu butuh keikhlasan.
Mereka adalah makhluk Allah dan pasti suatu saat akan kembali padanya. Lalu kepada siapa lagi kita akan berkorban.
Bagaimana jika dalam pikiran kita terlintas, apakah aku sudah berkorban untuk Allah? Bagaimana dengan ibadahku selama ini, adakah keikhlasan dalam hati untuk Nya? Pernahkah aku memperhatikan Nya di setiap langkahku, kehidupanku?
Jelas bahwa Allah tak pernah meninggalkan kita. Memberikan kenikmatan yang tak mungkin bisa kita hitung dari sejak Allah meniupkan roh kita saat dalam kandungan hingga saat ini bahkan saat nanti.
Aku harus belajar untuk menjadikan keikhlasan sebagai niatku untuk menjalankan rutinitas hidupku. Aku perlu belajar kepada orang-orang yang berhasil melakukannya. Kepada siapakah gerangan???
Cukuplah Allah SWT tempat kembali kita meminta petunjuk dan akan butuh waktu yang tidak sedikit.
Bantu aku juga teman…saudaraku sesama makhluk Allah SWT.

Menjaga Lisan

Najla A.Khanza
Terdapat dalil-dalil yang tegas dan jelas akan wajibnya menjaga lisan agar kita menggunakannya sesuai dengan apa yang diperintahkan syari’at. Di antaranya adalah:
1. Hadits ‘Adiy bin Hatim, muttafaqun ‘alaih
Rasulullah bersabda shallallahu ‘alaihi wa sallam:
((مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلا سَيُكَلِّمُهُ اللهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ. فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلا يَرَى إِلا مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ أَشْأَمَ مِنْهُ فَلا يَرَى إِلا مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلا يَرَى إِلا النَّارَ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ. فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ)) (متفق عليه) وزاد مسلم: ((وَلَوْ بِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ))
“Tidak ada seorang pun di antara kalian, kecuali nanti (pada hari kiamat) akan diajak bicara oleh Allah, yang antara dia dengan Allah tidak ada seorang penerjemah pun. Lalu dia melihat ke sebelah kanannya, maka dia tidak meilihat kecuali apa yang telah dilakukannya dan dia melihat ke sebelah kirinya, maka dia tidak melihat kecuali apa yang telah dilakukannya. Kemudian dia melihat ke depan maka dia tidak melihat kecuali neraka berada di hadapannya. Maka takutlah terhadap neraka walaupun (hanya berinfaq) dengan sebelah/setengah kurma!” (HR. Al-Bukhariy no.6539 dan Muslim no.1016)
Dan dalam riwayat Muslim terdapat tambahan: “Walaupun hanya dengan mengucapkan perkataan yang baik!”
Dalam riwayat yang lain disebutkan:
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ: ذَكَرَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم النَّارَ فَأَعْرَضَ وَأَشَاحَ ثُمَّ قَالَ: ((اِتَّقُوا النَّارَ)) ثُمَّ أَعْرَضَ وَأَشَاحَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ كَأَنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا ثُمَّ قَالَ: ((اِتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ, فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ))
Dari ‘Adiy bin Hatim berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang neraka lalu beliau berpaling kemudian bersabda: “Takutlah kalian terhadap neraka!” lalu beliau kembali berpaling sampai-sampai kami menyangka seakan-akan beliau melihat neraka tersebut, kemudian beliau bersabda: “Takutlah kalian terhadap neraka walaupun (hanya berinfaq) dengan sebelah kurma, maka barangsiapa yang tidak mendapatkan(nya), maka (berkatalah) dengan perkataan yang baik!” (HR. Al-Bukhariy no.1417 dan Muslim no.1016)
2. Hadits Abu Hurairah, muttafaqun ‘alaih
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ))
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka ucapkanlah (perkataan) yang baik atau diam!” (HR. Al-Bukhariy no.6018 dan Muslim no.47)
Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,” maksudnya adalah barangsiapa yang beriman dengan keimanan yang sempurna, yang dapat menyelamatkan dari ‘adzab Allah dan menyampaikan kepada keridhaan-Nya, “maka ucapkanlah (perkataan) yang baik atau diam!” karena sesungguhnya orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentulah dia merasa takut terhadap ancaman-Nya, mengharap pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Dan yang lebih penting dari itu adalah menjaga segala anggota badannya karena kelak ia akan dimintai pertanggungjawabannya di akherat atas apa yang telah dilakukannya.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
{إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلا}
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Israa`:36)
Dan juga firman-Nya:
{مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ}
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf:18)
Bahaya dan ketergelinciran lisan sangat banyak, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
((وَهَلْ يَكُبُّ النُّاسَ فِي النَّارِ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلا حَصَائِدُ اَلْسِنَتِهِمْ))
“Bukankah yang menenggelamkan manusia ke neraka di atas hidung-hidung mereka tidak lain karena hasil lisan-lisan mereka?” (Shahih, HR. At-Tirmidziy no.2616 dari Mu’adz bin Jabal t, lihat Shahiihul Jaami’ 5/29-30))
Maka barangsiapa yang mengetahui dan memahami hal ini serta beriman kepada-Nya dengan sebenar-benar keimanan, maka Allah akan memelihara lisannya sehingga dia tidak akan berbicara melainkan dengan perkataan yang baik atau diam.
Berkata sebagian ‘ulama: “Kumpulan adab yang baik itu tercabang pada empat hadits, disebutkan di antaranya sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ucapkanlah (perkataan) yang baik atau diam!”
Sebagian ‘ulama menjelaskan makna hadits tersebut: Apabila seseorang hendak berbicara, maka jika apa yang hendak ia katakan itu baik, benar dan berpahala maka hendaknya dia berbicara. Jika tidak maka hendaknya ia menahan diri, baik perkataan itu hukumnya haram, makruh atau bahkan yang mubah.
Berdasarkan hal ini, maka perkataan yang mubah diperintahkan untuk ditinggalkan atau dianjurkan untuk menahan diri darinya karena khawatir terjatuh kepada yang haram atau makruh dan inilah yang menimpa kebanyakan manusia. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf:18)
Para ‘ulama berbeda pendapat, apakah setiap yang diucapkan manusia itu pasti dicatat oleh malaikat sekalipun yang mubah, ataukah tidak dicatat melainkan yang berhubungan dengan perkataan yang akan membuahkan pahala dan siksa? Ibnu ‘Abbas dan lain-lain mengikuti pendapat yang kedua. Bagi yang berpendapat dengan pendapat ini maka makna ayat yang mulia tersebut menjadi bersifat khusus yakni perkataan yang berhubungan dengan balasan, baik pahala ataupun siksa.
Berkata penulis kitab : “Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “maka ucapkanlah (perkataan) yang baik atau diam!” menunjukkan bahwa perkataan yang baik itu lebih utama daripada diam, sedangkan diam lebih utama daripada berkata yang jelek. Hal itu bisa diperhatikan dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendahulukan “ucapkanlah (perkataan) yang baik” daripada “atau diam!”
Berkata yang baik dalam hadits ini meliputi: menyampaikan ajaran Allah dan Rasul-Nya, memberikan pengajaran kepada kaum muslimin, amar ma’ruf nahi munkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih dan berbicara dengan pembicaraan yang baik kepada manusia. Dan termasuk ucapan yang paling utama adalah mengatakan perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya atau yang diharapkan bantuannya. (Lihat Syarh Al-Arba’iin Hadiitsan An-Nawawiyyah hal.47-50)
Berkata Al-Imam Asy-Syafi’i: “Makna hadits ini adalah apabila seseorang ingin berbicara maka hendaklah dipikirkan dahulu. Apabila nampak bahwasanya tidak ada bahaya padanya maka berbicaralah, sebaliknya apabila nampak padanya bahaya atau dia ragu (apakah mengandung bahaya atau tidak) maka tahanlah (diamlah).” (Syarh Shahiih Muslim 1/222)
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar: “Makna hadits ini adalah bahwasanya seseorang apabila ingin berbicara maka pikirkanlah terlebih dahulu sebelum berbicara. Maka apabila dia mengetahui bahwasanya pembicaraannya tersebut tidak mengandung kerusakan dan tidak pula mengantarkan kepada yang haram ataupun yang makruh maka berbicaralah. Dan sekalipun perkataan yang mubah maka yang selamat adalah diam (tidak mengucapkannya) agar perkataan yang mubah tersebut tidak mengantarkan kepada yang haram dan makruh.” (Fathul Bari 13/149)
Demikian juga Al-Imam An-Nawawiy dalam Syarh Shahiih Muslim mengatakan dengan perkataan yang semakna dan kesimpulannya sebagaimana dikatakan Ibnu Rajab: “Bahwasanya Nabi memerintahkan berbicara dengan perkataan yang baik dan diam dari apa-apa yang tidak baik.”
3. Hadits Abu Hurairah, riwayat Al-Bukhariy dan Muslim
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لا يُلْقِي لَهَا بَالا يَرْفَعُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ. وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لا يُلْقِي لَهَا بَالا يَهْوِي بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ))
“Sesungguhnya seorang hamba, benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang diridhai oleh Allah, yang dia tidak menganggapnya penting, (maka) Allah mengangkatnya dengan perkataan tersebut beberapa derajat dan sesungguhnya seorang hamba, benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang dibenci Allah, yang dia tidak memikirkannya terlebih dahulu, yang dengan perkataan tersebut dia terjerumus ke dalam jahannam.” (HR. Al-Bukhariy no.6478)
Dalam riwayat Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ يَنْزِلُ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ)) (رواه مسلم) وفي لفظ له: ((إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ))
“Sesungguhnya seorang hamba, benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang dengannya dia masuk ke dalam neraka lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat.”
Dan dalam lafazh yang lain: “Sesungguhnya seorang hamba, benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang tidak jelas apa manfaat perkataan tersebut, (akan tetapi) dengannya dia terjerumus ke dalam neraka lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat.” (HR. Muslim no.2988)
4. Hadits Abu Hurairah, riwayat Muslim
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟)) قَالُوْا: اَللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ((ذِكْرُكَ أَخَاكَ ِبمَا يَكْرَهُ)) قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ: ((إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ, وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ))
“Tahukah kalian, apa itu ghibah?” Mereka berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda: “Yaitu, kamu menyebut sesuatu tentang saudaramu yang tidak disukainya.” Ditanyakan: “Bagaimana pendapat engkau, jika apa yang aku katakan memang kenyataannya ada pada saudaraku tersebut?” Beliau menjawab: “Jika memang apa yang kamu katakan ada padanya, berarti kamu telah meng-ghibahnya dan jika ternyata apa yang kamu katakan tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta tentang dia.” (HR. Muslim no.2589)
5. Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr, muttafaqun ‘alaih
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ))
“Seorang muslim (yang baik) adalah seseorang, yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Al-Bukhariy no.10 dan Muslim no.40)
Mudah-mudahan kita bisa memahami, menghafal dan mengamalkan dalil-dalil di atas dengan semata-mata mengharap ridha Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aamiin. Wallaahu A’lam.

Jumat, 11 November 2011

CAI (Cinta Alam Indonesia)

Desa Sambirejo-Wonosalam JATIM
Adalah tempat bumi perkemahan dan Outbond, biasanya CAI ramai dikunjungi pada bulan juni setiap tahun.



Fasilitas yang tersedia di CAI antara lain :
- Ground perkemahan sebanyak ± 65 tempat.
- Tempat Bermain Anak-Anak
- Aula Agung
- lapangan Sepak Bola
- Arena Wisata Keluarga
- Perkebunan
Selain sebagai tempat wisata CAI (cinta alam indonesia) juga difungsikan sebagai pondok pesantren dan sering digunakan sebagai tempat pertemuan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII).

Kamis, 10 November 2011

Beda Bank Syariah dengan Bank Konvensional

Memahami Perbedaan Prinsip Antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Oleh : Ibnu Anwaruddin, SH., Angg. dept. KIM DPP LDII

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” QS. Ali Imron, 3:130
Berbicara mengenai perbankan syariah sebenarnya tidak lengkap tanpa mengurai bagaimana sejarah, tujuan penerapan prinsip syariah, batasan-batasan prinsip syariah, jenis produk pembiayaan syariah, ketentuan hukum, Dewan Pengawas Syariah dll. Namun untuk mengawali rubrik syariah ini penulis tidak akan akan memaparkan secara keseluruhan mengenai hal-hal tersebut di atas, namun lebih kepada pokok permasalahan mengenai perbedaan yang mendasar antara prinsip syariah dengan prinsip konvensional.

Sebelum membicarakan beberapa perbedaan sistem bank Islam dengan sistem bank konvensional, perlu diberikan suatu penjelasan perbedaan antara bagi hasil dan pemberian bunga dalam bidang perniagaan, khususnya dalam operasional bank. Selama 4 tahun mengabdi pada sebuah bank yang beroperasional secara syariah, penulis banyak menemukan kesalahan pemahaman di kalangan banyak orang yang menganggap bahwa bagi hasil tidak ada bedanya dengan pemberian / pengambilan bunga, untuk dapat memahami perbedaan yang sangat mendasar tersebut terlebih dahulu harus dipahami hal-hal sebagai berikut :

a.   Dasar perniagaan adalah untuk mencari keuntungan karena itu setiap pemilik modal mengharapkan setiap uang yang dikeluarkan akan mendapatkan keuntungan, ini sesuai dengan kaedah fiqh, yaitu : pembayaran/pembiayaan dibalas dengan ganjaran. Karena itu Islam menggalakkan umatnya untuk berdagang.

b.   Dalam pandangan Islam, uang yang disimpan tanpa digunakan tidak akan bertambah, justru jumlahnya semakin menurun dari tahun ke tahun, karena ia wajib membayar zakat sebanyak 2,5% pertahun hingga sampai dibawah nisab (batas minimal jumlah harta yang wajib dikeluarkan). Karena itu Islam mengakui konsep bunga yang diperoleh seseorang jika menyimpan uangnya di bank misalnya dan dianggap riba, kecuali jika bank itu diberikan kekuasaan untuk memakai uang tersebut. Lalu jika bank mendapat keuntungan, maka dibagi dengan orang tersebut berdasarkan berapa persen dari untung yang didapat, bukan berapa persen dari uang yang disimpan. Maka jumlah yang diterima dari bank itu dianggap sebagai untung.

c.   Islam tidak mengakui bunga dalam pembayaran hutang, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yang artinya bahwa setiap hutang yang membawa keuntungan material bagi si pemberi hutang adalah riba.

d.   Tujuan Islam mengharamkan riba selain karena mengandung unsur penindasan, riba juga merupakan sistem yang hanya mengutamakan kepentingan individu saja tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat, padahal Islam lebih mengutamakan kepentingan masyarakat dari pada individu.

Secara singkat perbedaan-perbedaan antara bunga dengan bagi hasil dapat terlihat pada tabel di berikut :
  
No.
Bunga
Bagi Hasil
1.
Penentuan bunga dibuat sewaktu perjanjian tanpa berdasarkan kepada untung/rugi.
Penentuan bagi hasil dibuat sewaktu perjanjian dengan berdasarkan kepada untung/rugi.
2.
Jumlah persen bunga berdasarkan jumlah uang (modal) yang ada.
Jumlah nisbah bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang telah dicapai.
3.
Pembayaran bunga tetap seperti perjanjian tanpa diambil pertimbangan apakah proyek yang dilaksanakan pihak kedua untung atau rugi.
Bagi hasil tergantung pada hasil proyek. Jika proyek tidak mendapat keuntungan atau mengalami kerugian, maka resikonya ditanggung kedua belah pihak.
4.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat walaupun jumlah keuntungan berlipat ganda.
Jumlah pemberian hasil keuntungan meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan yang didapat.
5.
Pengambilan/pembayaran bunga adalah haram.
Penerimaan/pembagian keuntungan adalah halal

 Perbedaan pokok antara sistem bank Konvensional dengan sistem bank Islam secara ringkas dapat dilihat dari 4 (empat) aspek seperti terlihat pada tabel berikut ini :

No
Perbedaan Aspek
Bank
Islam
Bank Konvensional
1
Falsafah
Tidak berdasarkan atas bunga, spekulasi dan ketidakjelasan
Berdasarkan atas bunga
2
Operasional
-  Dana masyarakat berupa titipan dan investasi yang baru akan mendapatkan hasil juka diusahakan terlebih dahulu

- Penyaluran pada sektor usaha yang halal dan menguntungkan
- Dana masyarakat berupa simpanan yang harus dibayar bunganya pada saat jatuh tempo
- Penyaluran pada sektor yang menguntungkan, aspek halal tidak menjadi pertimbangan utama
3
Sosial
Dinyatakan secara eksplisit dan tegas yang tertuang dalam Visi & Misi perusahaan
Tidak tersirat secara tegas
4
Organisasi
Harus memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS).
Tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah.
 Tabel di atas hanyalah sebagian kecil konsep produk pembiayaan syariah yang berprinsip pada system bagi hasil, masih banyak lagi produk pembiayaan yang berbasis jual beli (bai’), sewa (ijarah), gadai (rahn) dll. Dan dari table tersebut hendaknya kita dapat membaca dan memahami perbedaan yang sangat mendasar antara bunga dan bagi hasil atau perbedaan prinsip antara bank syariah dan bank konvensional. Namun tentu tidak menutup kemungkinan bahwa masih banyak yang meragukan apakah prinsip syariah tersebut benar-benar dapat dijalankan secara utuh, bukan karena kepentingan untuk menjaring pasar semata tanpa memperhatikan kemaslahatan usaha yang dijalankan.

Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang berdiri pada tahun 1991 merupakan bank pertama di Indonesia yang murni menerapkan prinsip-prinsip syariah, baik dari segi permodalan maupun dari kegiatan usaha yang dijalankan. Kemudian setelah itu bermunculan bank yang turut mengaplikasikan operasionalnya secara syariah, diantaranya; Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, Bank Niaga Syariah, BRI Syariah, Bank Syariah IFI dll.

Saat ini belum semua bank syariah merupakan bank yang murni berdiri sendiri tanpa keterkaitan dengan bank induk atau bank konvensionalnya. Masih ada beberapa bank syariah yang merupakan unit usaha dari bank konvensional, yang mana notabene permodalan unit syariah tersebut pada dasarnya berasal dari bank konvensional atau bank induknya, sehingga masih ada mata rantai yang tidak terputus antara syariah dan konvensional. Selain itu, ada juga bank yang melakukan konversi dari konvensional menjadi syariah, hal mana patut dipertanyakan mengenai asset dan permodalan yang sebelumnya berasal dari hasil usaha konvensional.

Fenomena ini tentu membuat gamang tidak sedikit muslim yang ingin berinvestasi atau melakukan kegiatan usaha yang memerlukan layanan perbankan. Namun kita juga tentu tidak ingin terus-menerus terjebak dalam kegiatan riba dengan melakukan transaksi di bank konvensional yang terus membelenggu masyarakat muslim di Indonesia khususnya. Bebas murni dari riba mungkin tidak semudah yang kita bayangkan karena praktik konvensional telah berjalan ratusan tahun lalu, sedangkan praktik syariah di Indonesia belum genap dua dasa warsa. Paling tidak saat ini kita harus berupaya meminimalisir penggunaan bank konvensional dan beralih ke bank syariah agar iklim investasi syariah terus meningkat dan praktik syariah dapat terus memasyarakat.

Selain untuk memenuhi keinginan umat Islam untuk berhubungan dengan lembaga perbankan yang bebas bunga, bank Islam tentu diharapkan dapat menghasilkan keuntungan dan keselarasan dengan aspek moralitas Islam yang melandasi operasionalnya. Pendirian Bank Islam juga mempunyai tujuan khusus, yang selaras dengan tujuan LDII yang telah dijabarkan dalam rekomendasi Munas VI 2005 dan diperkuat dengan Rakernas LDII 2007 tentang pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Hal tersebut diantaranya ;

1.Menyediakan lembaga keuangan perbankan sebagai sarana meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat muslim.
2.Menggalang partisipasi masyarakat banyak dalam proses pembangunan terutama dalam bidang ekonomi syariah.
3.Mengembangkan lembaga perbankan dan sistem perbankan yang sehat berdasarkan efisiensi dan partisipasi masyarakat dalam menggalakkan usaha-usaha ekonomi masyarakat dengan memperluas jaringan lembaga-lembaga keuangan syariah hingga ke daerah-daerah terpencil.

Dewan Pengawas Syariah

Selain beberapa perbedaan prinsip operasional di atas, salah satu ciri yang membedakan antara bank Islam dengan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada Bank Islam. DPS bertugas mengawasi segala aktivitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dengan kata lain DPS bertanggung jawab atas produk dan jasa yang ditawarkan kepada masyarakat agar sesuai dengan prinsip syariah; investasi atau proyek yang ditangani oleh bank harus juga sesuai dengan prinsip syariah, dan tentu saja bank itu harus di-manage sesuai dengan prinsip syariah.

Secara umum anggota pengawas syariah tentulah harus merupakan orang yang memiliki otoritas di bidang syariah. Mekanisme penentuan anggota Dewan Pengawas Syariah berbeda pada setiap negara. Pada beberapa negara yang sudah mengatur secara sentral keberadaan dan operasional bank Islam, seperti Malaysia, Mesir, Jordania, Kuwait, Pakistan, Indonesia; mekanismenya telah diatur dalam undang-undang atau peraturan negra. Filosofi dari mekanisme ini adalah untuk menjaga independensi Dewan Pengawas Syariah.

Di Indonesia, otoritas masalah keagamaan di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kebingungan di kalangan umat akibat banyak dan beragamnya DPS. MUI sebagai payung dari lembaga dan organisasi keislaman di Indonesia menganggap perlu dibentuknya suatu dewan syariah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan. Pada bulan Juli 1997 dalam acara Lokakarya Reksadana Syariah dihasilkan rekomendasi pembentukan Dewan Syariah Nasional (DSN). Lembaga ini didirikan pada tahun yang sama dan merupakan badan otonom MUI yang diketuai secara eks-oficio oleh Ketua MUI. Sedangkan untuk kegiatan sehari-hari DSN dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Harian DSN. Bagi perusahaan yang akan membuka bank Islam atau lembaga keuangan syariah lainnya, mereka harus mengajukan rekomendasi anggota DPS kepada DSN. Saat ini, Dewan Syariah Nasional di Ketuai oleh KH. Ma’ruf Amin, salah satu Ketua MUI Pusat yang cukup produktif menulis berbagai buku mengenai ekonomi syariah.

Berdasarkan laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keuangan syariah, DSN dapat memberikan teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Jika lembaga yang bersangkutan tidak mengindahkan teguran yang diberikan, DSN dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas, seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk memberikan sanksi.

Sumber penulisan :
1. DR. Syafiie Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek.
2. Dr. Ir. H. M. Amin Azis, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia.
3. Artikel Khusus, “Bank Menurut Konsep Syariah Islam”, Majalah Mimbar Ulama, MUI.
4. Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia.